keputusan besar : resign saat hamil

by - Agustus 31, 2021


26-08-2021. terbangun dari tidur siang, bermimpi sesuatu yang tak asing. di produksi ada yang salah memakai barang, mereka menjahit dengan warna benang yang salah, mereka memasang komponen yang tidak sesuai dengan style. kemudian saya di panggil ke tkp dihadapan para atasan sambil menunjukan pekerjaan mereka. mereka menerangkan permasaahan dengan nada bicara seperti biasanya. yang seolah-olah menyalahkan saya. tidak becus mengordinasi inventory. saya mencari dimana letak permasalahannya dan membela diri namun saya terbangun.. dehidrasi.. perut kram. merasa kesal. tapi setelah beberapa saat saya bersyukur. merasa bersyukur karena itu semua hanyalah mimpi, dalam kenyataan saya tidak lagi berada di tempat yang kapan saja akan di salahkan, kapan saja merasa terasa terexpose seolah-olah menjadi 'tersangka' oleh kesalahan saya, kesalahan orang lain yang harus saya tanggung, atas kejadian yang bahkan saya tidak ketahui. 

5 Juni 2021 lalu saya menikah, 29 Juni 2021 kesehatan saya drop, demam tinggi 2 hari. 30 Juni 2021 saya divonis positif Covid-19 tidak bisa bekerja 14 hari kemudian karena harus isolasi mandiri. sedih? sudah pasti. sempat merasa lega karena bisa menghindar dari pekerjaan yang stressfull, istirahat memfokuskan kesehatan. namun ternyata tidak mudah, pekerjaan saya malah bertumpuk selama 2 minggu tertinggal. semakin membuat stress dikala sedang isolasi mandiri karena begitu banyak permasalahan yang terjadi, tapi yang hanya bisa lakukan dengan menonton grup, tanpa bisa mengeksekusi. dan semakin kian membuat kecemasan. sempat berfikir ingin resign saja ketika hamil karena kemungkinan saya tidak akan kuat menghadapi permasalahan pekerjaan yang kian rumit. tentu saja itu hanyalah benak saya ketika benar-benar merasa cemas, panik dan helpless dengan mental saya saat berada masa isolasi. terasingkan dengan keluarga, karena saya harus misah tempat tinggal sementara.

7 juli 2021 ternyata positif hamil. kesehatan saya kembali drop. namun, saya sempat bersemangat dan berfikir positif menyambutnya karena kemungkinan pekerjaan saya akan menjadi ringan karena toleransi ibu hamil di lingkungan kerja, tidak pulang sampai malam juga. segala benak ingin resign saat berada masa isolasi mandiri coba saya hilangkan jauh-jauh karena sudah membayangkan kapan cuti kehamilan tiba, kapan saya mulai belaja baju hamil, kapan saya mendapatkan uang cuti selama 3 bulan dirumah, kapan ketika saya melahirkan dan tidak perlu memikirkan biaya yang sudah tercover asuransi dari perusahaan.

tapi kenyataannya tidaklah mudah, pekerjaan saya tetap seperti biasa. malah setiap harinya seperti tertekan karena harus mengejar hal-hal yang tertinggal selama 14 hari isolasi mandiri minggu lalu, dengan keadaan fisik saya yang tidak seperti dahulu. lonjakan hormonal membuat saya cepat kelelahan, perut bagian bawah yang selalu kram pagi, siang, malam. berdiri, jalan kaki, naik turun tangga yang membuat saya sering lemas dan keliyengan. keadaan fisik dan emosional yang tidak stabil. dan sangat sulit berkonsentrasi. 

27 juli 2021. saya mermutuskan absen sehari dari pekerjaan untuk menjalani tes ANC (Antenatal Care) sesuai anjuran Ibu Bidan sekalian meriksakan kehamilan dan mengutarakan keluhan saya yang sering kram. jawaban dari pihak pukesmas tidaklah begitu memuaskan karena konseling hanya sekedar anjuran 'tidak boleh capek', 'makan teratur' dll kemudian saya memutuskan untuk pergi ke klinik swasta, untuk USG dan konseling langsung dengan dokter kandungan. kenapa saya memutuskan USG padahal kehamilan saya baru berusian 7 minggu pada saat itu? karena saya ingin merasa tenang kalau saya benar-benar hamil, bukan hanya sekedar tespek yang memperlihatkan garis 2. saya ingin melihat janin saya yang berkembang apakah benar sehat dan tumbuh di dalam rahim. bukan hamil BO/kosong, bukan hamil yang berada diluar kandungan, bukan penyakit dll dan menjawab keraguan saya dengan gejala perut saya yang sering sakit sepajang waktu.

hasil USG muncul dilayar lengkap dengan usia kehamilan, keadaan dan letak janin. dokter menjelaskan dengan teliti kalau janin saya sehat, sudah ada detak jantung. dan membuat saya benar-benar terharu kalau memang nyata ada mahluk hidup yang ada di rahim saya. dokter menanyakan punya keluhan tidak? saya jawab sering kram. jawaban dokter : saya tidak boleh stress, tidak boleh terlalu capek, kerja jangan terlalu 'ngoyo' harus pelan-pelan karena kehamilan masih sangat muda dan rentan, kata dokter. kemudian saya minta SKD untuk mengisi absensi saya sehari, namun dokter menuliskan saya harus istirahat selama 3 hari, bedrest. dengan diagnosa hamil 7 minggu 1 hari, rawan keguguran. harapan dokter tersebut untuk memaksimalkan pemulihan saya, dan dengan SKD tersebut bisa meringankan pekerjaan saya dan meyakinkan atasan kalau saya memang tidak bisa kerja berat.

sepulang dari klinik saya menangis sepanjang jalan tanpa sepengetahuan suami yang sedang nyetir di depan. melihat hasil USG dan penjelasan doker yang membuat saya sadar tidak boleh memiliki sifat egois dan memaksakan diri. mulai saat ini hidup bukan soal untuk diri saya sendiri tapi ada calon manusia yang harus saya jaga tumbuh kembangnya.

dengan bermodalkan hasil USG dan SKD saya memutuskan untuk berbicara dengan atasan untuk Resign. karena saya merasa tidak akan mampu bertahan lebih lama dengan segala macam tekanan. ada banyak ibu hamil yang bekerja sampai tanggal cuti melahirkan disana namun mereka berada di Departemen yang tidak banyak memikirkan resiko terlalu berat, dengan aktifitas yang bisa dijalani dengan duduk sepanjang hari, sangat berbeda dengan saya :( 

bukan karena saya manja dan ingin bermalas-malasan di rumah tetapi karena saya hanya ingin beristirahat.. saya ingin menjalani kehamilan tanpa rasa lelah berlebihan, tanpa stress berlebihan.. ingin beristirahat demi janin yang saya kandung dan tidak mau mengambil resiko terlalu jauh hanya demi 'uang cuti' .ditambah lagi jika mama sudah berangkat lagi ke luar negeri usai PPKM, siapa juga yang akan mengurus saya ketika berangkat dan pulang kerja?. ketika perut saya nanti akan semakin membesar siapa lagi yang akan mengantar saya untuk berangkat-pulang bekerja? jika suami belum pulang dari perantauan. hiks.

saya resign juga tidak memikirkan nanti kehidupan ekonomi saya akan berkurang karena 100% hanya mengandalkan penghasilan suami yang sedang sulit juga karena pandemi. tidak memikirkan berapa jumlah tabungan yang saya miliki karena semua habis untuk kebutuan saat menikah. tidak memikirkan nanti akan mengurus asuransi mandiri karena sudah stop dari perusahaan. tidak memikirkan semua itu karena saya hanya ingin sehat dan menjalani kehamilan dengan baik. keluarga awalnya tidak ikhlas jika saya resign, "mau ngapain di rumah?" kata mama. tapi seiring berjalannya waktu akhirnya mengerti karena saya juga punya suami yang mendukung keputusan saya.

berat rasanya untuk meninggalkan perusahaan yang sudah banyak memberikan saya ilmu, memberikan saya kesempatan untuk berkembang dan berkarier, serta memberikan saya pembekalan bagaimana sulitnya membentuk mental ketika bekerja di perusahaan startup yang di miliki oleh investor asing. 

sedih rasanya meninggalkan rekan kerja yang sudah banyak membantu saya dari awal dengan segala kekurangan dan keterbatasan saya selama jadi pemimpin mereka, yang bisa dikataan leadership saya jauh dari kata sempurna. jika ditanya "kenapa resign? apa tidak sayang? sedang pandemi mencari pekerjaan susah dll.." namun saya sudah pikirkan semuanya matang-matang dan ini merupakan keputusan yang merupakan terbaik untuk saya dan kondisi calon anak saya. 

usia saya sekarang ini 28 tahun, suami 37 tahun. bisa dibilang kami berdua sudah terlambat untuk menikah, namun sebulan setelah menikah langsung di kasih kpercayaan sama Allah untuk mempunyai momongan. dan tidak ada apapun lagi keinginan saya selain untuk menjaganya supaya kami bisa secepatnya mempunyai keturunan. rejeki insyaallah pasti ada jalannya. yang saya inginkan insyaallah sehat lahir batin. dan tentu saja kesehatan juga termasuk sebagian dari rejeki. 

You May Also Like

0 comments